Saturday, February 14, 2009

d'Wedding

Pagi itu, aku bangun dari tidur dengan perasaan bahagia. Hatiku terasa meledak lalu membentur cakrawala, dan terbang melayang tinggi ke angkasa. Hari ini mimpi dan angan-anganku yang bahkan belum pernah kubayangkan sebelumnya akan terjadi. Tepat tengah hari nanti, aku akan menikah di Gereja St.Paulo Brazil. Lanjut dengan high wedding di Ritz Carlton Hotel. Waaaa….

Esok paginya, aku dan Leo akan bulan madu ke Rio de Jeneiro, menengok dasyatnya air terjun tenggorokan setan yang paling indah sedunia. Sungguh kesempurnaan hidup yang unbelievable. Membuat hidupku ini seolah-olah berada dalam sebuah dunia novel yang kata-katanya penuh dengan imaji yang membahagiakan. Tak pernah kubayangkan, diriku, gadis kecil yang dua puluh tahun lalu masih berlarian di pinggir sungai Mahakam. Kini berada di sebuah tempat nan jauh dari Borneo sana. Di sebuah hotel berbintang 6, kamar no 239 Suit President, Ritz Carlton Hotel, Brasília!

“Kring... Kring... .”Suara telepon kamar membuyarkan lamunanku.

“Hai, Nan, How are you, dare?” sapa calon suamiku dari balik telepon.

“Leo, umm, entahlah, perasaanku hari ini agak berbeda.” Kataku memanja.

Nan, why? You sick, Nan?” Tanyanya dengan nada ketakutan.

“Oh, dare, aku hanya bercanda. Memang perasaanku agak berbeda dari hari-hari yang lain.”

“Ow, shit! Kalau tak sakit, so why?” tanyanya lagi dengan nada serius..

“Kau tak ingat jika hari ini kita akan menikah, tentulah perasaanku akan lebih berbeda dari hari-hari lain.” Jawabku sambil tertawa.” Jangan-jangan kau lupa ya?”.

“Oh...” jawabnya terasa lega bercampur kesal.

“Kau pasti semalam teler dengan pesta bujangmu, kan?” tanyaku dengan curiga yang kubuat-buat.

“Dare, Kinanti, my lovely honey, yang kucintai sampai die. Aku telepon kau untuk tanya, sudahkah kau breakfast? Bukan untuk fight, not know ya, tonight!.” Rayunya.

“Leonard, Pangeranku yang kujanjikan cintaku sampai mati. Aku tahu kok, aku cuma bercanda, he he he.” Tawaku setengah meghina, “Oke, aku mau telepon layanan kamar dulu ya, nanti setelah makan, ku telepon balik.”

“Ok, Nan, see you, love you honey!”

“Bye, Leo, love you too.”

Kututup telepon darinya, lalu kutekan nomer layanan kamar. Aku memesan sarapan pagi dengan menu bubur Oat, secangkir kopi, Orange Juice, dan buah apel. Sarapan pagi yang amat kusukai dari hotel ini sejak seminggu yang lalu. Tentu karena Oat-nya sangat khas dan berbeda di lidah. Leo pasti menghinaku, bila tahu kalau aku makan sarapan oat lagi.

“Jika hanya ingin makan Oat, kenapa harus ke Brazil?!”. Ejeknya padaku kemarin pagi. “lain kali, kita ke Dubai saja”. Katanya dengan nada penuh sombong, seolah-olah uang tak akan pernah habis dari kantungnya.

Sambil menunggu datangnya sarapan, kupencet tombol remote TV. Lalu hadirlah saluran no 24, BBC London, dengan berita hangatnya dari penjuru planet bumi ini.

“Next, news from Indonesia.” Kata Antonio Ardian seolah-olah memang bicara padaku, “Mahakam’s river in Borneo, Indonesia. Now flooded in some area in side of Mahakam. Million people evacuated from there because the height of water until roof of house. It caused by big rain as long as three days in middle of Borneo Forest, plus, so much trees in forest which cut by civilian made water can’t longer resistant in Borneo Forest.”

Mahakam, ayah, dadaku berdebar-debar. Jantungku serasa akan copot. Bagaimana kabarmu disana yah, pikirku tiba-tiba dengan dada berdebar-debar. Yang kutahu dari berita itu, Mahakam memang meluap begitu hebat, dari gambar satelit menunjukkan bahwa air meluap hingga mencapai atap rumah. Bahkan banjir kali ini pasti lebih hebat dari banjir tahun 2009 lalu. Namun, melihat berita di BBC ini, mungkin banjir itu memang sudah sampai di rumah ayah di Samarinda, dan dengan kapasitas yang jauh lebih besar pula.

Kuambil segera I-Phone dari Bivalgri maskawin-ku, dengan Call Net Phone kutekan nomer Andy, adikku yang kini kuliah di Universitas Hasanudin, Mangkasar. Lama aku menunggu untuk tersambung ke ponsel adikku itu. Lalu dari telepon via internet itu, akhirnya mulai kudengarkan nada tunggu handphone-nya. Tak berselang lama Andy mengangkat teleponku dan terdengarlah suara jernih dari cellular-ku.

“Andy, aku lihat berita di TV...” kataku langsung pada ke pokok masalah.

“Oh, Kak Nanti, ya?” jawabnya datar.

“Ya, bagaimana Ayah, Andy?” tanyaku sungguh-sungguh.

“Entahlah, Kak, aku juga tak tahu.” Jawabnya innocent.

“Ah, apa kau tak lihat berita di TV?” aku sedikit marah.

“Oh, memang Kak, tak pa lah, Ayah pasti bisa survive, kok.”

“Maksudmu?” aku bertanya penuh curiga.

“Banjir kemarin juga Ayah tak kenapa-napa?”

“Andy?” Aku sedikit merasa sedih. “Bukankah banjir kali ini lebih parah dari tahun kemarin!”

“Ya...” jawabnya datar-datar saja. “Tapi ayah pasti selamat, aku yang menjamin.” Katanya mantab.

“Sungguhkah?”

“Tak usah kau khawatir, Kak, bagaimana dengan pernikahanmu esok?”

“Ya, aku akan menikah 5 jam lagi.”

“Selamat ya, maaf kami tak bisa datang, dan jangan lupa upload video ke facebook!”

“Sure, see you Andy, morning.”

“Selamat tengah malam, Kak!”

Aku sedikit lega mendengarkan perkataan Andy, adik satu-satunya yang amat aku cintai. Perkataannya membuat perasaanku kembali tentram. Sedih rasanya menikmati keindahan Brazil tanpa mereka, tanpa Ayah dan adikku tercinta. Tak kubayangkan aku menikah disini dengan mewahnya, sedang ayahku kebanjiran di Indonesia. Dan bahwa hampir sebagian besar diplomat Amerika dan teman-temanku dan Leo dari American Ambassador Amerika hadir, dan mereka sudah ada di hotel ini. Ironi dengan tak satupun keluargaku dari Indonesia yang hadir…

Ayah berkata, “Buat apa kawin jauh-jauh di Brazil, toh kawin itu di KUA cuma habis 300 ribu saja!” Hardiknya padaku ketika aku mengutarakan pernikahku di Brazil. Tapi, aku nekat juga, toh aku sama sekali tak mengeluarkan uang sedikitpun. Bagiku, semua ini hitung-hitung sebagai piknik ke luar negeri. Kapan lagi coba? Calon suami seorang Diplomat Amerika yang mau dengan gadis Mahakam sepertiku ini, plus menawari pernikahan nan mewah di Brazil lagi.

Andy pun begitu, penyelesaian puncak tesis S2 menjadikan alasan kenapa ia tak mau menghadiri acara nikahku di sini. Pupus sudah rencana pernikahan dengan dihadiri dua orang tercinta itu. Dua orang keluargaku satu-satunya semenjak 10 tahun yang lalu, setelah mendiang Ibuku pamit ke Rahmatullah, tak mau mereka hadir di sini. Tapi itu bukan masalah, aku sudah berencana akan ada resepsi di Hotel Hilton Jakarta bulan depan, jadi resepsi di sana akan menjadi bayaran atas hutang-hutang ketidak setujuan mereka. Ha…

Aku kembali berfikir tentang Ayah, sedang apa Ayah di Samarinda sana. Kedinginankah Ayahku tercinta? karena banjir besar itu meneggelamkan rumah kami. Ayah yang sendirian di tanah kelahiranku, tak mau dia angkat kaki dari sana. Ayah juga tak mau ku boyong ke Jakarta, hidup enak di Pondok Indah bersama denganku yang sudah menjadi wanita karir sukses.

Beliau beralasan, bahwa makam mendiang ibuku masih harus di rawat. Dan ia tak mau meninggalkan Ibuku sendirian di Samarinda. Bahwa rumah yang besar dan kebun berhektar-hektar komplit beserta babunya masih harus di tunggu. Mubadzir jika harus diserahkan pada penyewa, atau bahkan dijual. Karena semua itu hasil jerih payah Ayah dan Ibu dulu. Dan aku pun hanya sedikit banyak bisa memakluminya.

Tak mau juga dia ikut Andy untuk pindah ke Mangkasar. Tentang Andy, Andy sudah jadi dosen Antropology di Universitas Hasanudin Mangkasar, hidupnya tentu sudah kecukupan, tinggal istri yang katanya tahun depan akan dipersuntingnya. Dia adikku satu-satunya yang tentunya amat kucintai, sebagai kakak perempuan tunggalnya, tentu aku sangat memanjakannya. Ayah pun begitu memanjakan Andy, maklumlah, anak lelaki sendiri. Aku tak jealous jika semua permintaan Andy diturutinya, toh aku ini memang hanya wanita. Namun, pada akhirnya aku memang lebih beruntung dari Andy juga.

Ah, kenapa aku jadi ngelantur begini. Bukankah hari ini akan menjadi hari bersejarah bagi diriku. Beberapa jam lagi aku akan menjadi Ny. Leonard Lasey. Tak perlu aku berfikir macam-macam dalam kondisi bahagia ini. Mungkin Andy memang benar, Ayah bisa survive di sana seperti yang dulu-dulu. Dan mungkin pem-format-an berita di BBC itu canggih. Kata-katanya dibuat sedemikian rupa, dengan membuat banjir selokan menjadi seolah-olah banjir besar, dan banjir besar seolah-olah banjir bandang, dan banjir bandang seolah-olah tsunami. Dan tsunami... entahlah!

Jujur, yang kusuka dari BBC morning adalah wajah Antonio Ardian yang memang sangat tampan dan elegan. Bahkan lebih tampan dari Leo, bujang peranakan France dan Jawa itu sungguh menarik. Mungkin aku tersihir dengan wajah tampannya itu. Sehingga berita banjir biasa di Mahakam bisa berubah jadi banjirnya Nuh. Hah...!

Oat-ku menjadi dingin, membuat aku tak berselera untuk memakannya lagi. Kuminum secangkir coffee sambil keluar ke balkon hotel, kunikmati pemandangan indah Brazil yang mirip dengan Indonesia, begitu tropis dan sejuk di pagi hari. Polusi di sini hampir hilang, penggunaan bio etanol tebu untuk kendaraan berjalan sukses. Tidak dengan Jakarta, bila pagi menjelang, akan riuh seperti arena pasar demit! Siangnya jadi arena neraka demit, malamnya jadi pusat industri malam yang banyak dinikmati dedemit bangsat pula.

Dari lantai duabelas ini, aku bisa lihat hamparan luas hutan tropis Amazon di kejauhan sana. Dan semut-semut kecil manusia yang ramai di bawah hotel, juga hijaunya taman kota-kota Brazil yang memikat. Hijau di tengah kota, bagaikan zamrud di tengah padang pasir. Tetapi, tiba-tiba angin menghempas balkon kamarku dengan keras. Bisa kurasakan kerasnya angin seperti angin yang keluar dari turbin pesawat. Kembali aku masuk ke kamar, dan kulihat di kejauhan. Mendung mendadak menyelimuti Brasilia.

Kupandang langit mendung dari balik jendela kamarku, kuteguk kopi yang mulai dingin. Kursakan sesuatu berbisik di telingaku, sesuatu yang dingin, yang membuat bulu kudukku bergidik. Kupegang tengkuk leherku yang terasa dingin dan bergetar lembut, bagai dibelai angin pagi yang mengalun pelan. Entah apa, aku juga tak tahu, lagi, kupandang langit pagi yang mendung. Langit yang tiba-tiba membisikkan padaku tentang sesuatu, bisikan yang jauh melewati hamparan samudra pasifik.

Tiba-tiba aku merasa lebih kedinginan lagi, kopi yang hangat tak lagi terasa nikmat. Kuputuskan untuk berendam air hangat di Jacuzzi, sambil menunggu datangnya team tata rias pengantin tiba di kamarku...

.....

Ferrari yang kutumpangi mulai menembus pusat keramaian kota Brasilia menuju Gereja St.Paulo. Aku bahagia, aku nyaman dan anggun bak Cinderella yang banyak dipuja. Gaun ratusan dolarku begitu pas di tubuh, dan lagi, sopirku bilang “You are so so beautiful, you make me want to marriage with Asian girl madam.”

Aku tersenyum puas, tibalah mobil antik ini di gerbang St.Paulo. Banyak tamu yang sudah datang, pendampingku, Yohanna, anak tante Melissa membukakan pintu. Keluarga Yohanna memang tinggal di Buanos Aires. Sehingga, mereka satu-satunya keluargaku yang kupaksakan hadir, paman Yudha dan tante Melissa, orang tua dai Yohanna tentu hadir di pestaku ini. Tapi mereka menginap di Tropiz Hotel dengan Leo. Sungguh adat yang aneh, di Indonesia, sebelum kawin pengantinnya sibuk sendiri mempersiapkan tetek bengek. Tapi di sini, kami dijadikan raja dan ratu, segala sesuatu dipersiapkan keluarga, tapi tak boleh bertemu dahulu selama sehari. Hanya sehari, it’s Okay lah...

Aku tersenyum puas, dua anak kecil yang entah anak siapa tersenyum padaku dan menggandeng tanganku. Semua sempurna, tanpa suara mereka memandangiku, mereka hanya tersenyum, begitu sacral dan indah seperti gladi bersih kemarin. Aku masuk ke aula St.Paulo yang besar. Saking besarnya, hampir tak ada seperempat pengunjung dalam pestaku ini. Jadi aku harus berjalan jauh menuju altar.

Di tengah-tengah perjalanan, aku memandang Leo yang sudah ada di altar dengan pendeta, mataku lembut menghujam memandang calon suamiku itu. Tetapi aku merasakan sesuatu getaran yang aneh, sesuatu yang memaksaku untuk menangis dan berteriak. Aku ingat Mahakam, ayah, almarhumah ibuku, Andy, dan aku seperti merasa tak kuasa akan badanku sendiri.

Aku tercengang saat aku mulai mendekati altar. Tubuhku bergejolak, ada sesuatu yang membuatku ingin berlari lagi, ada sesuatu yang membuatku ingin kembali, entah kenapa tiba-tiba angin keras menghempasku lagi, angin yang sama kerasnya seperti yang di balkon pagi tadi. Aku tersentak, lalu berlari menuju Ferari. Meskipun semua mata memandangku dengan heran, aku tetap berlari dari gereja ini. Aku keluar,

Kutekan tombl-tombol Call Net Phone dari I-Phone

“Andy...” Kataku.

“Kak ...” jawabnya resah. “Kau benar, aku baru akan naik kapal ke Samarinda dan...” Dia diam sejenak.

“ Kak, Tak tersisa, banjir bandang, maafkan aku.”

“Andy,...” Aku lemas, aku belum sarapan dan mandi terlalu lama. Badanku kedinginan dan menggigil demam. Jantunggku berpacu membuat darahku melonjak, bulir air mata mengalir di atas pipiku, bedakku luntur. Aku menarik nafas, aku lemas, lunglai, lalu berucap lirih Inailahi wa Inna Ilaihi Ra’jiun, namun tak sempurana mulut ini berucap, karena kurasakan tubuhku berada di pangkuan Leo, aku pingsan.

Kulihat deburan air yang menerjang penuh dengan amarah, aku tak tahu itu apa apakah itu keindahan air terjun Rio de Janeiro, ataukah banjir yang ada di Samarinda yang meluluh lantahkan ayah dan kampungku. Aku tak tahu dengan apa yang kulihat ini. Tapi aku hanya setengah sadar, karena aku masih pingsan. Lama, sangat lama, ada Ibu dan ayah disana, dibalik deburan dasyat air beriak…