Sunday, January 4, 2009

Korupsi

Di Indonesia, nampaknya perkembangan mengenai korupsi kian hari kian bertambah. Meskipun pemerintah sudah menanganinya dengan mendirikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) tetapi hal itu tidak cukup membantu, hal itu bisa kita lihat dari berbagai kasus korupsi yang kian hari kian menjamur. Dari berbagai sektor, sudah banyak tercemar dengan kegiatan korupsi. Bahkan untuk mendapat pekerjaan, sekarang sudah suadah harus berani mencoba korupsi, dengan membayarkan sejumlah uang, seperti untuk menjadi polisi. Diperlukan lebih kurang Rp.50juta untuk masuk seleksi!. Mengapa hal ini bias terjadi? Apakah sebab yang sesungguhnya? Dan mampukah korupsi dihentikan?

Dari segi sematik, korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu tindakan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakuan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal dengan meerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan, atau suatu kuasaa tanpa ada kesepakatan pertimbangan atau juga catatan administrasi.

Bila pengertian korupsi tersebut kemudianmemperhatikannya secara seksama dan mendalam, tentu kita semua menyadari betapa luas cakupan korupsi tersebut.

Misalnya seorang anak diminta untuk membeli gula oleh ibunya, dalam pembelian gula tersebut terdapat sisa uang. Si anak tersebut lantas menggunakan uang tersebut untuk membeli permen. Setelah sampai dirumah, si anak tidak berkata tentang sisa uang tersebut dan hanya menyerahkan gula pesanan ibunya. Kemudian ibunya bertanya kemanakh sisa uang pembelian gula itu. Dengan santai anak itu menjawab bahwa sisa uang itu ia pergunakan untuk membeli permen. Tetapi si ibu hanya senyum-senyum saja…

Apakah hal tersebut masuk dalam daftar korupsi? Ya jawabnya, tetapi si anak tidak perlu dilaporkan ke KPK kok… Karena itu cuma korupsi kecil yang ditolelir. Tetapi bila dilihat dari sisi psikologis, bukan tidak mungkin suatu saat nanti si anak akan mengulanginya dalam suatu skala yang lebih besar. Hal itu terjadi karena si anak merespon suatu tindakan yang sebenarnya salah, namun dinilai oleh orang lain yang menjadi suatu pedoman baginya, hal itu benar atau biasa-biasa saja.

Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi, itu karena si anak memiliki sifat-sifat dasar yang ditanamkan kepadanya melalui suatu bentuk proses sosialisasi yang salah. Contoh lagi, melalui berbagai cerita khas Indonesia seperti “Kancil Nyolong Timun”, alias si kancil mencuri mentimun. Dalam cerita tersebut, secara tidak sadar orang tua menananmkan suatu pendidikan yang salah, yakni menganggap kelakuan kancil mencuri timun di kebun Pak Tani adalah hal yang wajar, bahkan menarik untuk didongengkan. Serta kelakuan kancil menipu anjing yang dianggap sebagai suatu kecerdikan.

Salah satu yang menarik lagi adalah lagu milik orang Jawa ini,
“Kucing GARONG, meong…
Omahmu ngendi, ngerong…
Opo ra adem, kemul…
Entuke ko ngendi, NYOLONG…”
Meskipun lirik lagu tersebut menarik, dalam segi estetika bahasa Jawa, tetapi maknaya yang terkandung sangat menyesatkan persepsi, dimana si kucing “garong” atau “perampok” yang pekerjaannya “nyolong” alias mencuri itu dianggap hal yang lucu dan menarik, seolah-olah tak ada pesan moral yang terkandung dalam lagu tersebut.

Dua contoh mengenai si kancil dan si kucing diatas adalah kesalahan sosialisasi yang ditanamkan oleh orang tua kita (khususnya orang tua Jawa). Yang secara tidak sadar, hal itu mempengaruhi kondisi dasar psikologis anak. Jadi, sebagai orang tua, lain kali jangan memperkenalkan suatu budaya tanpa melihat sisi moralnya. Meskipun begitu, saat ini tanpa didongeng tentang si kancil saja anak sudah dapat menikmati begitu banyak sosialisasi yang buruk melalui media elektronik, seperti televisi. Bahkan tidak hanya korupsi, kekerasan saja sudah menjadi sajian bagi anak-anak tersebut. Bahayanya, anak tersebut belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang benar. Disinilah peran besar orang tua seharusnya dipertanyakan.

Tinjauan lain dari korupsi adalah dari sisi historisnya, bangsa
Indonesia pernah dijajah oleh Belanda. Timbul taktik Belanda menghancurkan kaum Jawa dengan taktik Aksara Jawa, dimana matinya huruf jawa atau aksara jawa dengan “dipangku”. Artinya mengangkat derajat beberapa orang untuk dijadikan sebagai anak buah mereka dengan memberikan gelar untuk meningkatkan status sosialnya. Semisal Mangku Bumi, Paku Buwana, Paku Alam, dst...

Dimasa mendekati jaman kemerdekaan contohnya, timbul stratifikasi menonjol dengan adanya kaum Priyayi. Mereka adalah kaum terpelajar, tetapi jebolan dari sekolah Belanda, dimana setelah mereka lulus pada tingkat tertentu, mereka dapat mencalonkan diri menjadi Priyayi-Priyayi yang bangga untuk bekerja pada pemerintahan Hindia Belanda. Meskipun hal itu wajar mengingat orang lemah (pribumi) harus berlindung dengan orang kuat (colonial). Dan kita juga harus sadar jika kita jarang untuk belajar menjadi orang baik, tapi kita selalu diajarkan menjadi orang kuat kuasanya (umumnya loh).

Kemudian ada juga masa kelam jaman orde baru, dimana tak adanya transparansi keuanggan negara, sehingga praktek korupsi menjadi suatu ladang aman bagi pejabat pemerintahan, yang subur dan sejahtera karena terlindung kediktaktoran. Bahkan hingga saat ini saja, masih banyak kasus korupsi yang belum terpecahkan, atau sengaja dijaga agar tidak pecah. Namun begitu, kita harus yakin bahwa seiring waktu berjalan yang semakin mengubur dalam suatu kejahatan, akan ada waktu dimana kejahatan itu akan tergali kembali oleh generasi mendatang.

Dari sisi historis tersebut, kita dapat melihat bahwasanya kita menggadaikan moral kita hanya untuk mendapatkan materi. Padahal itu adalah suatu moral penjilat, tak lain adalah menjilat kotoran untuk mendapatkan uang. Hal itu menjadi suatu budaya pada masa-masa selanjutnya, rela mengorbankan harga dirinya demi materi. Sehingga pada saat ini, suatu bentuk korupsi adalah sutu bentuk budaya yang dianggap biasa.

Menggapa korupsi dianggap biasa? Karena di berbagai sektor dan bidang, baik pemerintah maupun swasta banyak terjadi tindak penylewengannya korupsi ini. Korupsi dianggap bukan masalah sepanjang tidak diketahui. Sehingga korupsi menjadi budaya yang subur. Dan saat ini ternyata korupsi mengalami revolusi yang hebat pula. Kalau dahulu malu-malu kucing untuk korupsi, sekarang ini tidak korupsi tidak dapat stratifikasi tinggi. Sehingga korupsi menjadi suatu ajang kesepakatan bersama dan menjadi suatu bentuk korupsi massal.

Lantas bagaimana menghentikan praktek korupsi ini? Jawabnya adalah pembangunan moral dari berbagai bidang. Terutama menyangkut moral generasi muda bangsa ini. Karena merekalah yang nantinya membawa negara ini untuk lebih maju. Kemudian pembersihan korupsi yang juga harus harus disertai dengan kokohnya legimitasi hukum di Indonesia. Sehingga hukum lugas, tegas, dan jelas, dan mampu menakuti para koruptor.

Hukuman mati seperti di China mungkin menjadi end solution jika terbukti dari tahun ke tahun bentuk korupsi jadi tak terkendali. Tetapi kembali pada trias politica demokrasiya, jika eksekutif, legislative, dan yudikatif diisi orang yang benar. Tentu korupsi akan terhindarkan. Jadi, jangan asal memilih caleg lho ya!!! Ingat bahwa masa depan kita mugkin masih bisa terselamatkan. Pilih dari Parpol yang jelas tidak pernah korupsi, yang tanpa ragu membela hak rakyat, yang banyak program kerjanya terlaksana, yang bersih dari antek koruptoe, tapi pertanyaannya.

Yang mana????

Kill Corruptions!

No comments:

Post a Comment

please insert your comment here...